Sejarah Kerajaan Majapahit - Majapahit merupakan sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Timur, berdiri antara tahun 1293 hingga 1500 Masehi.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Raja
Hayam Wuruk, yang berkuasa pada tahun 1350-1389. Kerajaan Majapahit
adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah
kekuasaannya masih diperdebatkan.
Bukti Adanya Kerajaan Majapahit
Tidak banyak bukti fisik dari Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya tidak
jelas. Sumber utama yang digunakan oleh sejarawan merupakan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno dan Pararaton
('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi. Nagarakertagama merupakan puisi
Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui
sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World
Programme) oleh UNESCO. kemudian Pararaton berisi cerita, terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat
beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Selain dua
sumber diatas terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun
catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of
Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera
dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan corak bangunan,
pengaruh kebudayaan, candi, seni dan patung. Bahkan ada perguruan silat
bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari
Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari
Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Singapura, Filipina,
Selatan Thailand dan Malaysia.
Berdirinya Majapahit
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling
kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti
Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari
yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang
terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan
lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima
kembali dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik
(Mojokerto).
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan
membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan
pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang
menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang
membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin
mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat di atas disambut dengan
senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan
itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya
diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.
Ketika tentara Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura
membantu menyerang Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh,
Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya.
pasukan mongol secara kalang-kabut kalah dan mundur karena mereka
berada di negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir
mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka
terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit merupakan hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal
10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya
Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi,
Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini
tersebut disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa
mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan
semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya
meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya merupakan Jayanegara. Pararaton menyebutnya
Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu
dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da
Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri
Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk
anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu
Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa
yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan
membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan
Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan
Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada
tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun
1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya
dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada
(1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian
kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus
puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga
menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena
didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi
(Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda
menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357
rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke
Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa
kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga
kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak
terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga
kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.
Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk
redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan
negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung
Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita
Parahiyangan. Kisah tersebut disinggung dalam Pararaton tetapi tidak
disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun tahun 1365 menyebutkan budaya
keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan
sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit.
Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera ke Papua, yang mencakup Semenanjung Malaya dan
Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat
kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan
langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan
Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas,
pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas
mereka.
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau
dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit
nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan
penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta.
Pewaris Hayam Wuruk merupakan putri mahkota Kusumawardhani, yang
menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga
memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya
atas takhta. Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan
terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana.
Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi
ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini
melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut
Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal
muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai
1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan
komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara
Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai
memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh
putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447.
Ia merupakan putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga
putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga
tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan
gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun
1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada
1456. Ia kemudian meninggal pada 1466 dan diganti oleh
Singhawikramawardhana. kemudian tahun 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan ia mengangkat dirinya
sendiri sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan Islam muncul, yaitu Kesultanan Malaka.
Di bagian kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi
membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad
ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke
Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit
di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre
Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha
(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya
di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474.
Tahun 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan cara memanfaatkan
ketidakpuasan umat Hindu maupun Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi
serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya
memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar
Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik
dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan
kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai
utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun
1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim
pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun
1518. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang
berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun
berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400
Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana. Raden Patah yang saat itu merupakan adipati Demak
sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan
dipimpin oleh Sunan Ngudung, tapi mengalami kekalahan bahkan Sunan
Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak
Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk
meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa
ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha
(Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan
Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan
kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi
anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika
Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak
melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan ke
Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota
keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan
besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama
ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518,
kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa
kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi
Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah
karena ia merupakan putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang
putri China.
Catatan sejarah Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari
tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan
Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M. Demak memastikan posisinya sebagai
kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di
tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu
yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung
timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian
barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat
Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo
dan Semeru.
Perkembangan politik
Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya
perebutan kekuasaan antaranggota keluarga raja. Putri sulung
Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra
dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota. Putri
bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri
ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi
Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara
lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan
Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak
mempunyai putra.
- Memberikan kedudukan dan hadiah yang
pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah
di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang
sampai Blambangan. Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana
menyebabkan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309
dan dimakamkan di Sumping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura
(dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya adalah
Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca.
Penggantinya adalah Jayanegara.
Pemerintahan Jayanegara
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemim-
pinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana.
Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
- Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
- Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
- Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru.
- Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
- Pemberontakan Kuti pada tahun 1319.
Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil
menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri
ke daerah Bedander. Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan
Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada,
Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan.
Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan,
Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya
yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di
Kapopongan.
Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai
Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit kemudian
diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328 – 1350)
yang menjalankan pemerintahan dibantu oleh suaminya (Kertawardhana).
Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam
negeri, yakni meletusnya Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi
Patih Daha.
Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab
Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang
bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta
pada usia 16 tahun dengan gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan
pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.
Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk,
Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang
sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan
luas negara Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal Gajah Mada
yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan
penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami
kemunduran. Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam
Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering
dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun
melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan Islam di
pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh
pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Kebudayaan
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun,
dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual
keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar
tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari
semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti
atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis:
keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di
Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang
ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas. Ibu kota Majapahit di Trowulan
merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus
titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak
menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa
pegawai atau abdi istana muslim saat itu.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan
warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo
anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak
bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu
bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa
saja yang memandangnya".
Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
"..Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya
berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada....
Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena
sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan
perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China
beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan
raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit
didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo
Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia
mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan
Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi
Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi
Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras,
dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera,
lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui
jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju
Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih
rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh
raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh,
kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana
raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak.
Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa,
tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang
disebutkan di sini tak lain merupakan Majapahit yang dikunjungi pada
suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.
Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian
mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang
menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300,
pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter
penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng"
yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar
10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari
halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut
berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin asing
ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli
menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan
uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar
dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit.
Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak
yang mahal.
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu
dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang
berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa
tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa). Prasasti
dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan
spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual
minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara
pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi
populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar
pertanian semakin meningkat pada era Majapahit. Menurut catatan Wang
Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya
adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari
besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik
Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan
bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor.
- Faktor pertama; lembah sungai Bengawan
Solo dan Sungai Brantas di dataran rendah Jawa Timur utara sangat
cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun
berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah.
- Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku.
Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa
merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah
menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari Khmer, China,
Siam dan India. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang
menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan
maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
Struktur pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai
penjelmaan dewa dan memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Roda pemerintahan dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat raja,
dan beberapa pejabat pemerintah. Sebelum menduduki jabatan raja, putra
mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai raja muda (Rajakumara atau
Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk lebih
dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan di Jimna. dalam
struktur pemerintahannya Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan
susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Raja dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu.
Tugas lembaga ini adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
raja. Anggota dewan ini merupakan para sanak saudara raja. Untuk
masalah-masalah keagamaan, raja dibantu oleh dewan yang disebut
Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan bertugas menangani urusan agama
Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan bertugas menangani urusan agama
Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh Dharma Upapati,
yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan, i
Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat
keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.
Tiga lembaga pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut.
Raja Majapahit juga dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu,
dan i Sirikan. Biasanya yang diangkat untuk menduduki jabatan ini
adalah putra raja. Mahamenteri i Hino memiliki kedudukan paling tinggi
karena di samping memiliki hubungan erat dengan raja, ia juga dapat
mengeluarkan prasasti-prasasti. Para mahamenteri ini dibantu oleh para
Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi kerajaan yang merupakan
badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas lima orang, yaitu
Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga,
dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang Panca ri
Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki
kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
- Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
- Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
- Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
- Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang
terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini
dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat
ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula
semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara
raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan
Singhasari, terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur
maupun bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang
biasah disebut Paduka Bhattara yang memiliki gelar Bhre atau "Bhatara
i". Gelar ini merupakan gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya
posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk
mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke
pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di
Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
- Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
- Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
- Watek: dikelola oleh wiyasa,
- Kuwu: dikelola oleh lurah,
- Wanua: dikelola oleh thani,
- Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan
Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam
lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang
lebih besar pun terbentuk:
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal
Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum
memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota
kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan
semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang
merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara
langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti
tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau
raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah
dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan
birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan
perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka
menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara
termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali,
dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
Nusantara, ialah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa,
tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan.
Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan
Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau
tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat
mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras.
Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku,
Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan
Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang
didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan
tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar
negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam
kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing
adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari
(Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari
(kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana
(Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena
kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk
dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar
negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini
kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu
kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya
daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik
bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut. Daerah-daerah
bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah
Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa
daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi
Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa
terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit.
Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan
sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga
Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan
Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa
pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan
Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok.
- Raden Wijaya (Gelar: Kertarajasa Jayawardhana) 1293 - 1309
- Kalagamet (Sri Jayanagara) 1309 - 1328
- Sri Gitarja (Tribhuwana Wijayatunggadewi) 1328 - 1350
- Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) 1350 - 1389
- Wikramawardhana 1389 - 1429
- Suhita (Dyah Ayu Kencana Wungu) 1429 - 1447
- Kertawijaya (Brawijaya I) 1447 - 1451
- Rajasawardhana (Brawijaya II) 1451 - 1453
- Purwawisesa atau Girishawardhana (Brawijaya III) 1456 - 1466
- Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa (Brawijaya IV) 1466 - 1468
- Bhre Kertabumi (Brawijaya V) 1468 - 1478
- Girindrawardhana (Brawijaya VI) 1478 - 1498 Patih Udara 1498 - 1518
Peninggalan Kerajaan Majapahit